Jumat, 12 Agustus 2011

WUKUF DAN ARAFAH

WUKUF DAN ARAFAH

Kalau ingin melihat acara muktamar terbesar, teragung, terindah dan terharmoni di dunia ini, lihatlah pada tanggal 9 Dzulhijah. Karena pada tanggal tersebut semua hujjaj dari segala penjuru dunia melaksanakan wukuf di padang Arafah, mereka akan datang padamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, demikian arti firmanNya dalam surat Al Hajj 27. Al Hajju Arafah, demikian pula sabda rasulullah SAW, yang menggambarkan bahwa inti haji itu adalah wukuf di Arafah. Apapun yang sudah dikerjakan dalam prosesi berhaji jika belum berwukuf maka tidak sah hajinya. Dan begitu agungnya wukuf tersebut hingga Imam Al Ghozali menceritakan bahwa tidaklah terlihatlah setan pada suatu hari yang lebih kecil, lebih tersisih, lebih hina dan lebih mendongkol dari pada hari Arafah. Dan begitu harmoninya padang arofah dari kejauhan nampak bagaikan buih-buih putih dilautan yang begitu indah. Karena hujjaj pada waktu itu apakah mereka pejabat, pedagang, penyanyi yang terkenal, politisi atau penjual sate dan sebagainya semuanya menggunakan pakaian Ihrom dengan warna putih yang sama dan serasi. Di acara akbar tersebut tidak ada warna kesukaan atau mode fashion favorit untuk di pilih, karena pilihan yang ada hanyalah keinginan untuk menghambakan diri pada Pencipta manusia dan segala keinginnanya dan Pencipta alam ini, Alloh ‘Azza wa Jalla.

Wukuf bisa berarti berhenti. Dan Arafah, arti sebenarnya adalah nama tempat yang letaknya kurang lebih 20 km dari kota Mekkah. Dan haji seseorang menjadi sah jika berhenti sejenak dari mulai tergelincirnya matahari hingga terbenamnya di padang Arafah, ini makna formalistic dari wukuf. Adapun kalau diartian dari sisi spiritualistik maka makna wukuf memiliki arti yang mendalam dan mampu menggetarkan dawai-dawai cinta kepada Allah SWT.

Sebagaimana diketahui, kecintaan manusia pada dunia, mengantarkannya pada kesibukan untuk terus tenggelam dalam urusan-urusan materi. Ketika seseorang sudah asik dengan anak-istrinya, sudah nikmat dengan urusan kantornya, sudah enjoy dengan aktivitas politiknya dan terhanyut dalam kepopularitasannya, serta disaat itu ia lupa pada sesuatu yang memiliki dan menguasai semua urusan tersebut, yaitu Allah Yang Maha Kasih, maka ini kerugian terbesar yang menimpa manusia.
Oleh karena itu, wukuf di Arafah bisa menjadi simbol ilahi untuk menjadikan sebagai titik awal perubahan manusia kearah yang lebih baik dan dengan itu juga menjadikan manusia dapat lebih banyak “melihat” pada kasih sayang Allah SWT.
Sebagaimana arti bahasanya, wukuf adalah berhenti. Dan kalau dilihat dari arti spiritualistik memiliki makna sebagai terminal pemberhentian untuk sejenak mengingat dan Arafah – mengenal Allah lebih mendalam lagi agar menjadi bekal dalam “perjalanan” berikutnya.
Arafah berasal dari kata ‘A-ra-fa, yang berarti mengerti dan paham pada sesuatu. Dan jika di gabung dengan makna wukuf diatas maka akan memiliki arti bahwa manusia harus wukuf atau berhenti sejenak dari segala urusan duniawy yang melalaikannya untuk bisa Arafah,yaitu mengenal dirinya secara hakiki sebagai media untuk dapat mengenal Alloh SWT serta kasih sayangNya. Karena man ‘arofa nafsahu ‘arofa rabbahu, barang siapa yang mengenal dirinya pasti dapat mengenal Tuhannya.
Agar manusia bisa mendapatkan keberkahan hidup ketika bergulat dalam urusan dunianya, maka harus bisa mengenal hakekat dirinya. Dimana manusia adalah makhluk yang lemah dan kerdil tanpa bantuan dari kekuatan Allah SWT. Di dalam diri manusia ada begitu banyak tanda-tanda dari ke KuasaanNya. Jantung yang selalu berdetak, darah yang mengalir secara sistimatis, empedu yang dapat mengurai gizi yang dibutuhkan tubuh, mata yang berguna untuk melihat keindahan, alisnya yang tidak tumbuh panjang seperti rambut kepala, dan sebagainya adalah tanda-tanda kekuasaanNya yang dapat mengantarkan keimanan manusia padaNya. Karena itu, manusia yang memahami dirinya, pastilah ia tidak akan sombong dengan apa yang dihasilkannya. Dan meyakini bahwa tidak ada ilah-ilah yang patut disembah dan dipuji di dunia ini kecuali Alloh Yang Maha Kasih dan Sayang.
Oleh karena itu jika ia sudah mengenal dirinya, pasti pula ia akan mengenal Allah SWT dengan mengetahui kasih sayangNya yang tidak bisa diukurnya. Sebagaimana manusia yakin bahwa setiap orang tua yang mengasihi anaknya, tetapi sulit mengukurnya. Maka bagaimana mungkin manusia dapat mengukur kasih sayangNya yang begitu besar !. Renungkanlah sabda rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abu Hurairah, ”Allah menjadikan rahmat satu bagian. DisimpanNya disisiNya sembilan puluh sembilan bagian dan diturunkanNya ke bumi satu bagian. Satu bagian inilah yang dibagi untuk seluruh makhluk (begitu mencakupinya sampai-sampai dari satu bagian itu) seekor binatang yang mengangkat kakinya karena dorongan kasih terhadap anaknya, khawatir kalau-kalau sampai ia menginjaknya.”
Allah Yang Maha Kasih, masih manyimpan 99 kasih sayang disisiNYa. Yang kelak akan dibagikan pada makhluk-makhlukNya yang berkeinginan untuk selalu mengenalNya lebih mendalam. Inilah makna simbolik-spiritualistik dari wukuf di arafah.
Dan untuk dapat mencapai arofah atau ma’rifah padaNya seorang muslim harus ber-mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam beribadah padaNya dengan selalu berdzikir dan bertafakkur tentang nikmat-nikmatNya. Sehingga akan melahirkan sikap mahabbah(kepercayaan yang sempurna dengan kehangatan cinta yang membara) pada Alloh SWT. Dengan kecintaan yang membara ini, seorang muslim akan mengalami fana’ (dirinya lebur dan hilang sama sekali), sehingga tidak ada yang dirindu di alam semesta ini kecuali siapa yang dicintainya. Dan tidak ada yang dirasakan kehadiran di hatinya kecuali hanya Dia yang disayang, ma fi qolbi illa Alloh.
Dan jika Aisyah r.a., istri Rosululloh Saw, meriwayatkan bahwa rosul memberitahukan padanya bahwa beliau tidak melihat Tuhan ketika mi’raj. Tetapi Ibnu Abbas memberitakan bahwa nabi Saw melihat-Nya, maka keduanya benar. Rasul tidak melihat-Nya (dengan pandangan mata), itu yang disampaikan kepada Aisyah. Dan beliau melihat-Nya (dengan mata hati), sebagaimana riwayat Ibnu Abbas.
Karena itu jika anda tidak menjadi tamu Alloh untuk ber-wukuf di arafah maka undanglah Dia menjadi Tamu di hati anda dengan wukuf sejenak dari mengurus kepentingan yang hanya bersifat duniawi dan berkosentrasi pada kepentingan-kepentingan Ilahi supaya bisa arafah padaNya.
Wa llohu a’lam.

Ya Alloh jadikan kami termasuk alkayyis.